Home » Cloud Big Data » Ratusan Ribu Relawan Sedunia Bekerja dengan Superkomputer Temukan Obat Corona

Ratusan Ribu Relawan Sedunia Bekerja dengan Superkomputer Temukan Obat Corona

artificial-intelligence-3382507_1920-2.jpg
Ilustrasi superkomputer. Foto : Pixabay
Tinggal di rumah memang menjadi salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk mencegah pandemi virus corona atau COVID-19 semakin parah. Tapi tinggal di rumah, bukan berarti menghabiskan waktu hanya dengan rebahan.

Dari rumah, kita juga bisa melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat, bukan sekadar mencegah, tapi juga memerangi pandemi ini. Tak perlu khawatir jika kamu tak punya kemampuan di dunia kedokteran, karena yang kamu butuhkan hanyalah komputer.
Seperti yang sudah dilakukan oleh ratusan ribu relawan di seluruh dunia. Mereka memasang komputer di rumah mereka dan menghubungkannya ke jaringan luas yang membentuk superkomputer virtual bernama Folding @ home.
Proyek ini memanfaatkan daya komputasi crowdsourced untuk menjalankan simulasi protein bagi para peneliti yang sedang mempelajari penyakit. Seperti kita ketahui sejak Februari para peneliti mulai menganalisis protein yang ditemukan dalam SARS-CoV-2, virus di balik pandemi global yang sedang berlangsung sekarang ini.
Protein ini adalah alat yang membantu virus menginfeksi manusia. Menggunakan simulasi komputer, para peneliti memetakan protein SARS-CoV-2 dengan harapan dapat mengungkap kerentanan yang dapat diserang menggunakan obat baru.
Semakin banyak relawan yang menyumbangkan daya komputasi untuk upaya ini, semakin cepat superkomputer virtual dapat melakukan keajaibannya. Sejak proyek ini mengumumkan untuk fokus pada virus corona, ada sekitar 400.000 relawan baru yang bergabung pada 19 Maret. Jumlah ini melonjak cukup drastis pada 26 Mart menjadi sekitar 700.000 relawan. Kekuatan komputasi kolektif dari pasukan relawan ini menjadikan Folding @ home sebagai superkomputer paling kuat di dunia.
Bagaimana Proyek Ini Bekerja
Sebelum terlalu banyak membicarakan Folding @ home, Mardhani Riasetiawan, Doktor Ilmu Komputer di FMIPA UGM, menjelaskan superkomputer merupakan fasilitas komputasi, bisa terdiri atas satu buah komputer dengan spesifikasi sangat tinggi, atau sangat banyak komputer yang saling terhubung dan bekerja sama dalam satu manajemen sistem. Superkomputer ditujukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang membutuhkan proses dan waktu yang sangat besar.
Superkomputer hanya sebuah alat untuk membantu pekerjaan manusia. Untuk menjalankan tugasnya, superkomputer harus dilengkapi dengan sistem, aplikasi, serta algoritma yang ditugaskan untuk menyelesaikan komputasi tertentu.
“Misalnya melakukan pemodelan DNA, melakukan analisis data yang sangat-sangat besar, dan melakukan prediksi multivariable yang kompleks, yang kesemuanya itu tidak dapat diselesaikan oleh komputer server biasa atau komputer pada umumnya,” jelas Mardhani ketika dihubungi, kemarin.
Sementara itu, pemimpin proyek Folding @ home, Gregory Bowman yang juga merupakan pakar biofisika di Fakultas Kedokteran Universitas Washington, mengatakan kepada Science News tentang bagaimana simulasi pada proyek ini dapat membantu memetakan protein SARS-CoV-2.
Para peneliti telah mengambil gambar protein dari SARS-CoV-2 menggunakan teknik-teknik seperti kristalografi sinar-X dan mikroskopi cryo-electron.
“Semua atom dalam protein dan sekitarnya terus mendorong dan menarik satu sama lain,” kata Bowman. “Apa yang kami lakukan adalah memodelkan interaksi fisik tersebut di komputer,” lanjutnya.
Simulasi-simulasi yang dilakukan dimaksudkan untuk mengungkapkan berbagai bentuk struktur protein yang dapat diambil. Dia ingin mencari celah-celah di permukaan protein untuk memasukkan molekul kecil rancangannya ka dalam alur, mereka menyebut celah ini seagai kantong samar. Yang membuatnya sulit, banyak protein, terutama yang ada dalam virus memiliki permukaan yang halus sehingga sulit untuk memasukkan molekul rancangannya.
Untuk melakukan misi ini, para peneliti benar-benar mengambil satu protein dari virus Ebola untuk dijalankan dalam simulasi. Kabar baiknya, mereka berhasil menemukan salah satu kantong samar yang dicari.
“Lalu kami pergi dan melakukan percobaan untuk menunjukkan bahwa memang ada saku kecil, dan jika kita menempelkan molekul kecil di sana, itu benar-benar dapat mematikan fungsi protein,” ujar Bowman.
Hal yang sama juga bisa dilakukan pada kasus SARS-CoV-2, molekul obat baru dapat dirancang untuk ditempel pada roda kimia protein virus, sehingga tidak dapat menginfeksi sel manusia.
Mengapa tak Menggunakan Obat yang Ada?
Mengembangkan obat baru dengan cara konvensional bisa memakan waktu bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun lamanya. Sehingga, saat ini para peneliti sedang menyelidiki beberapa obat yang sudah ada dan berpotensi untuk menjadi obat COVID-19 seperti hepatitis C, Ebola, dan malaria.
“Tetapi tidak ada jaminan bahwa hal-hal ini akan berhasil,” kata Bowman.
Hal ini berkaca pada obat antivitus yang digunakan untuk mengobati HIV, awalnya memang tampak menjanjikan namun setelah diteliti lebih lanjut dan diuji klinis, ternyata tidak menunjukkan manfaat yang pasti untuk pasien COVID-19.
Bahkan jika nanti ada yang berhasil menemukan obat untuk melumpuhkan SARS-CoV-2, Bowman dan timnya tidak akan berhenti di sana.
“Asumsinya adalah, bahwa seperti banyak virus, ini akan bermutasi cukup cepat, dan bahwa jika kita tidak mengikutinya, kita akan segera kembali dengan masalah yang sama dengan yang kita miliki sekarang. Menangani hal ini di banyak bidang adalah taruhan terbaik kita untuk sukses,” tegasnya.
Mengapa Perlu Menggunakan Superkomputer
Para peneliti harus bekerja pada rentang waktu yang sangat kecil untuk berhasil menemukan celah kecil atom di dalam protein. “Setiap langkah dalam simulasi berada di urutan femtosecond, atau seperempat miliar detik,” ujar Bowman.
Artinya, untuk dapat melacak perpindahan protein dalam sedetik saja, mereka harus melakukan layaknya operasi satu miliar kuadrat di komputer, dan masing-masing operasi itu mengharuskan mereka untuk bertanya bagaimana setiap pasangan atom dalam protein.
Dengan banyaknya relawan yang tergabung di dalam superkomputer ini, pekerjaan yang jika dilakukan oleh komputer biasa memakan waktu sampai 100 tahun, Folding @ home cukup menyelesaikannya dalam sebulan.
Lalu apakah kita bisa ikut membantu proyek ini? Tentu saja.
Bowman mengatakan, siapapun dapat menginstal perangkat lunak Folding @ home di komputer pribadi mereka masing-masing. Sebagian daya komputasi yang tidak digunakan, bisa dimanfaatkan untuk membantu peperangan melawan corona ini. Laptop lama maupun keluaran terbaru, semua bisa ikut bergabung.
“Kami mendapatkan semua orang, dari orang yang menjalankannya di laptop lama mereka, hingga gamer yang memiliki mesin yang sangat hardcore untuk bisnis yang menunjuk cluster komputer di Folding @ home,” ujar Bowman.
Folding @ home bukan satu-satunya superkomputer yang ditugaskan mempelajari SARS-CoV-2. Pada 23 Maret, pemerintah AS mengumumkan konsorsium baru yang berisi perusahaan, universitas, dan lembaga pemerintah termasuk beberapa laboratorium nasional, NASA, IBM dan Microsoft yang menawarkan peneliti akses ke superkomputer mereka untuk mempercepat penemuan perawatan atau vaksin untuk SARS-CoV-2.
Mardhani mengatakan, superkomputer digunakan di berbagai bidang, tidak hanya untuk keperluan medis. Di dunia medis, superkomputer biasanya digunakan untuk pemodelan DNA, komputasi bioinformatika, bahkan bisa melakukan tindakan medis untuk membantu operasi jantung, kanker, dan lainnya.
“Di Bidang lain juga sangat besar perannya, di industri digunakana untuk desain dan produksi mobil, peswat dan lainnya. Di bidang manajemen transportasi untuk manajemen lalu lintas, di bidang bencana bahkan sudah dipakai untuk prediksi daerah cakupan bencana,” ujarnya.
Membangun Superkomputer di Indonesia
Saat ini superkomputer terbesar bukan ada di China dan Arab Saudi. Kedua negara itu cukup dominan dalam bidang ini.
Indonesia menurutnya juga mampu membangun superkomputer dan menggunakannya untuk membantu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada, termasuk pandemi global COVID-19. LIPI saat ini juga sudah mulai mengembangkan superkomputer, begitu juga dengan UGM. Saat ini, UGM juga sudah memulai membangun superkomputer dalam skala lab di laboratorium riset sistem komputer dan jaringan Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika FMIPA UGM.
“Bahkan saat ini sudah digunakan untuk pemodelan sebaran COVID-19 yang bisa diakses di covid19.gamabox.id,” ujarnya.
Soal biaya tidak bisa disamaratakan. Biaya yang dikeluarkan tentu berbanding lurus dengan seberapa besar skala yang akan dibangun dan seberapa tinggi spesifikasi yang akan digunakan. Karena itu, untuk membangun superkomputer perlu menyesuaikan dengan kebutuhan komputasinya.
Jika memang membutuhkan superkomputer untuk menyelesaikan permasalahan yang sangat kompleks, maka dibutuhkan spesifikasi yang tinggi, dan tentunya biayanya akan sangat mahal.
“Sementara jika membuat dengan level komputasi yang terukur, maka biaya pun bisa disesuaikan,” ujar Mardhani. (Widi Erha Pradana / YK-1)
sumber: https://kumparan.com/pandangan-jogja/ratusan-ribu-relawan-sedunia-bekerja-dengan-superkomputer-temukan-obat-corona-1t8FgXuF42z